Situasi Jelang Pemilu 2024 di Bangka Selatan Masih Adem Ayem, Berbeda Dengan 5 Tahun Yang lalu

- 3 Januari 2024, 02:58 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi /Pampdump/Try Sutrisno /

INFOBANGKAID - Iklim Pemilu 2024 di Bangka Selatan khususnya di Kota Toboali masih adem ayem atau terbilang kondusif, itu dibuktikan dengan tidak adanya sindir menyindir atau saling fitnah dimedia sosial maupun di kehidupan sehari-hari antara lawan politik dan tim sukses.  

 

Diketahui berbeda iklim pada Pemilu 2019 lalu masih relevan ditemukan saling fitnah maupun saling hantam narasi negatif antar pelaku tim sukses maupun parpol. Bahkan bukan hanya menjelekkan dan menjatuhkan saingan Pemilu bahkan ada juga saling lapor ke pihak hukum untuk menjatuhkan pamor sang pesaing.  

 

Jurus fitnah jelang Pemilu ternyata tidak berlaku di tahun 2024 namun kejamnya jurus saling mencari celah kesalahan masih ampuh untuk saling menjatuhkan apalagi untuk pelaku sendiri yang berambisi menjadi penguasa di negeri ini.  

 

Praktik politik oleh pelaku Politik sendiri sedang memutar otak mencari alat manjur untuk menerobos pertahanan simpati masyarakat agar mendapat empati kembali.   

 

Empati atau timbang rasa adalah daya untuk memahami atau merasakan apa yang dialami orang lain dari sudut pandang mereka, yakni daya untuk menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain. Definisi empati mencakup berbagai proses sosial, kognitif, dan emosional yang terutama berkaitan dengan memahami orang lain.

 

Namun, masyarakat atau rakyat saat ini sepertinya memiliki krisis kepercayaan terhadap mereka yang duduk menjadi wakil mereka sebagai legislatif.  

 

Roy merupakan tukang ojek dengan celotehnya bergumam "Berapa Biaya Untuk Suara Kami Buat Anda Menjabat Selama 5 Tahun" itu gambaran saat ini dengan teriakan kecil mereka sebagai rakyat jelata.  

 

Hanna pedagang tempe pasar pagi Toboali ikut memberi komentar "Siapapun Yang Telah Mendapatkan Jabatan Bakal Lupa Dengan Kami Rakyat Kecil, Suara Kami Hanya Ternilai 150 ribu rupiah untuk 5 tahun" 

 

Rudi sebagai pedagang ayam ikut bergumam " hmmmm...kita masyarakat hanya ingin daerah ini atau negara ini memang di pimpin oleh mereka yang mencintai kami sebagai rakyatnya, bukan malah membodohi kami demi jabatan mereka".

 

Nah, itulah sebenarnya harapan masyarakat di lapisan bawah. Sepertinya mereka tidak peduli terhadap figur yang akan memimpin untuk daerah ini, akan tetapi setidaknya secercah harapan mereka ada figur yang dapat memperhatikan nasib mereka apalagi sebagai figur yang mewakili aspirasi mereka terdengar hingga ke penjuru negeri.

 

Patronase didefinisikan sebagai ‘sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau penggiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka’ (Shefter 1994: 283), sedangkan klientelisme dapat disimpulkan menjadi pemberian barang atau jasa merupakan respons langsung terhadap pemberian keuntungan dari pihak lain, menekankan pada hierarki kekuasaan yang tidak seimbang antara patron dan klien, serta repetisi dalam pertukaran klientelistik (Hicken, 2011).

 

Kedua fenomena di atas membentuk suatu hubungan timbal balik yang menjadi dasar kuat dari imunitas praktik politik uang terhadap hukum. Survei yang dirilis oleh Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM mengenai hasil penelitian soal peta potensi politik uang dalam Pemilu 2019 mengemukakan bahwa ekonomi tidak menjadi satu-satunya aspek yang mendasari praktik politik tersebut. Sikap publik yang cenderung acuh tak acuh dengan praktik politik uang juga semakin menegaskan sulitnya pemberantasan praktik korupsi yang telah tertanam dalam masyarakat.

Editor: Try Sutrisno

Sumber: berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah